Tuesday, April 16, 2013

Pindahan berdarah

Selasa, 1 November 2011, aku memindahkan barang-barangku ke Wohnung (apartemen) di Gostanbul, Nürnberg. Kamarku di Ebene 2 (dua lantai di atas lantai dasar). Hal yang lumayan sengsara adalah memindahkan kardus berisi catatan kuliah dari lantai nol ke lantai dua. Masalahnya terletak pada massa. Paling sengsara adalah memindahkan sofa. Kini masalahnya terletak pada massa dan volume serta dimensi.

Ketika mengangkat sofa, tanganku kadang membentur dan menggesek tembok. Maka terjadilah pendarahan. Untung ada Palang Merah. Aku pindahan dibantu oleh kawanku, Hengky, yang pernah kukenal ketika kami di Palang Merah. Dia membantuku karena dia memiliki surat ijin mengemudi Jerman, sehingga bisa menyewa mobil untuk keperluan pindahan. Oh, ya, pendarahannya tidak banyak, hanya dua ujung jari karena tangan kering. Keanggotaan kami dulu di Palang Merah tidak terlalu banyak membantu masalah pendarahan ini. Luka kecil pasti cepat kering, sih. Jadi tidak perlu keahlian lebih dari Palang Merah.

Oh, sungguh hari yang melelahkan. Aku tidak memiliki kekuatan eksplosif, jadi tidak bisa mengangkat barang cepat, namun bisa menahan beban berat lama. Hengky yang masih muda, sebaliknya. Dia bisa mengangkat barang berat dengan cepat tapi diduga tak bisa menahan beban berat lama. Efeknya, ritme kerja yang tak imbang. Aku kehabisan tenaga dan mual-mual. Tangan bergetar dan berdarah. Membawa tiga sofa naik dua lantai betul-betul menyengsarakan.

Ich war ein Nürnberger.

***

Sabtu, 13 April 2013, kira-kira satu setengah tahun kemudian, akupun pindahan dari apartemen tempat kuntilanak bergoyang dan berdendang tersebut. Seiring dengan habisnya sabun sari lavender, akupun mengakhiri masa-masa mandi kembang ditemani musik jazz di apartemen tersebut. Perpisahan dengan Wohnung ini kulakukan dengan boker terakhir kali, diiringi lagu Bunga Terakhir dari (Bebi) Romeo.

Kebetulan Nachmieter (orang yang menyewa apartemen setelah diriku) adalah pengusaha jasa pindahan. Jadinya aku menggunakan jasanya untuk mengangkut barang-barang dari apartemen keramat di Nürnberg ke apartemen baru di Bremen. Akupun memindahkan dengan gembira karena jasanya cepat dan tanganku kini sehat dan kuat akibat latihan beban di McFit. Selain itu, kini tiada pemindahan sofa. Kuserahkan sofa, meja makan, meja tulis, beserta kursi-kursinya kepadanya.

Sesampainya di Bremen berangin, barang-barang kupindahkan ke Ebene 1 (satu lantai di atas lantai dasar). Pengantar barang ini sangat cepat dalam memindahkan barang dari mobil ke kamarku. Barang-barang sudah selesai berpindah sebelum kedatangan kawan-kawan Bremen yang kuundang membantuku. Ternyata kawan-kawanku tak datang. Jadinya aku pun tak perlu merepotkan kawan-kawanku.

Usai pindahan ini, akupun melihat pahaku. Kenapa ada darah? Ternyata bisul yang pecah. Akupun teringat pindahan berdarah sebelumnya. Memang kutukan berdarah apartemen di Nürnberg tersebut belum berakhir. Apakah ini ada hubungannya dengan aku yang tidak mandi kembang, melainkan mandi sari kelapa? Oh, ya, kini sabunku menggunakan sari kelapa dan madu. Lagu yang cocok untuk ini adalah Mandi Madu dari Elvy Sukaesih dan Es Lilin Kelapa Muda dari Nining Maeda.

Jetzt bin ich ein Bremer, euy!

***

Berikutnya, aku mengurangi barang-barangku. Catatanku akan kuscan dan kuarsipkan secara digital, baik di harddisk maupun di awan (cloud). Lalu semua kertas yang berat kubuang. Sehingga bebanku ringan pada pindahan berikutnya. Selain itu, aku belajar melepaskan kepemilikan pribadi. Sebagai pria posesif, aku harus belajar melepaskan.

Aku juga akan sekolah mengemudi supaya dapat SIM Jerman. Membawa mobil sendiri bisa menghemat biaya pindahan menjadi sepertiga biaya menyewa jasa pindahan. Selain itu, memiliki SIM ini, bisa membantu kawan-kawan yang ingin pindahan maupun yang ingin bertanding pada acara Sport Fest di Jerman. Dharmaku yang sesungguhnya adalah membantu sesama dengan melepaskan kepemilikan pribadi, atas alat produksi, bukan alat reproduksi.

Mari kita nikmati, lagu Bunga Terakhir dari Bebi Romeo.

Mandi Madu dari Elvy Sukaesih.

Es Lilin Kelapa Muda, dari Nining Meida


Bremen, 16 April 2013

iscab.saptocondro

Sunday, March 10, 2013

Salah jurusan

Hari ini, aku berada di Nürnberg lagi, dalam rangka beres-beres rumah dan bersih-bersih sebelum pindahan. Aku berputar-putar di kota ini untuk mencari makan. Aku tak punya alat masak yang siap-sedia di dapur. Semuanya sudah ada di kardus.

Seusai makan, segeralah aku pergi stasiun utama kota ini. Aku pergi naik kereta bawah tanah: U-bahn nomor 1. Aku naik dengan penuh keyakinan, bahwa U1 jurusan Fürth-Langwasser pasti takkan sampai di Caringin maupun Sadang Serang.

Perjalanan kali ini, nampaknya aku sulit sekali konsentrasi. Aku selalu terbayang, barang apa yang kubereskan hari ini. Yang ini masuk kardus mana. Ataukah segera kubawa ke Bremen dalam koper. Berapa berat barang ini? Ukurannya gimana. Posisi dalam kardus/koper/tas bagaimana?

Lamunanku buyar seiring keherananku pada U1. Mengapa halte yang kulewati begitu indah? Biasanya kumuh. Selain itu, penumpangnya cantik-cantik. Biasanya, sih, yang kulihat orang bertampang kumal atau wanita lesbian (Emangnya cewe lesbi kaga ada yang cantik?). Mengapa kali ini berbeda? Kulihat halte dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ternyata aku salah jurusan.

Aku salah jurusan. Seharusnya dari stasiun utama, aku menuju Fürth. Aku malah menuju Langwasser. Aku  tak memperhatikan tanda-tanda pada papan, kereta, dan tembok. Ini menunjukkan bahwa aku betul-betul tidak waspada hari ini. Hal seperti inilah yang membuat orang mudah dihipnotis atau kecopetan.

Setelah menyadari kesalahan ini, akupun keluar dari kereta. Pindahlah aku ke sepur lain. Aku balik ke arah Fürth. Kurenungkan kata-kata temanku akhir tahun lalu, "Dengan tersesat, kamu akan menemukan dirimu". Ternyata aku sudah kehilangan orientasi di kota ini. Ikatan geopsikologis dengan kota ini telah putus. Akupun tersadar kalau aku diutus Tuhan untuk menjalankan Dharmaku di kota lain, yaitu mendakwahkan Kabar Gembira dalam pergerakan.

Dengan kereta yang benar, sampailah aku di rumah Nürnberg. Kusadari bahwa aku harus menjalani kisah sengsara: The Passion of Condro. Rumah di daerah Ghetto Gostanbul. Pergi ke kantor lama untuk diospek. Jalur kantor lama dan rumah yang penuh aroma mencolok. Sepulangnya di rumah, aku sudah tak bisa mengurus rumah lagi karena kelelahan dalam menstabilkan emosi. Empat belas jam sehari untuk kantor terasa berat. Aku pun merasa bahwa keberadaanku di kota ini adalah suatu "salah jurusan" dalam hidup.

Salah jurusan membuatku merenungkan makna hidupku. Aku belajar banyak bahwa aku harus melepaskan keterikatanku akan kota. Aku harus selalu siap berpindah. Mobilitasku harus tinggi. Aku harus mulai mengurangi barang-barang milikku. Catatan harus kuscan lalu kutaruh di harddisk dan di awan. Ini artinya aku harus menghilangkan kepemilikan pribadi. Sebagai pria posesif, aku belajar bahwa aku harus menanggalkan yang kumiliki. Aku harus membuang hal-hal yang menghambat mobilitasku.

Melepaskan keterikatan bisa membuatku menjadi Jedi, seperti di Star Wars. Kota Nürnberg memang Jedi Academy. Ketua PPI setempat juga suka dengan Star Wars, selain suka jeruk nipis. Menanggalkan kepemilikan pribadi bisa membuatku jadi komunis, seperti Uni Bremen yang didirikan oleh kaum komunis Bremen tahun 70-an. Oleh karena itu, aku menjadi Jedi Komuniscab.

Kusadari bahwa kota ini selain menimbulkan perasaan "salah jurusan" dalam hidup, juga membuatku belajar banyak. Selain belajar memaknai (maupun menghilangkan makna) kepemilikan pribadi dan keterikatan geografis dan geopsikologis, aku belajar banyak dari orang-orang di sini. Aku terinspirasi ketua PPI Franken yang mengorganisasikan manusia dengan cepat dan efisien, walaupun ia bukan tentara. Aku belajar bahwa dalam bekerja, aku harus tetap menjaga kemanusiaanku. Aku belajar bahwa selain ber-Dharma di kantor, aku juga harus menjadi Bapak Rumah Tangga. Kulihat rumahku berantakan sulit diurus. Kegagalanku dalam mengatur rumah tangga tak boleh terulang di Bremen baru.

Aku bersyukur kepada Tuhan atas segenap "salah jurusan" dalam hidupku. Tanpa kesalahan ini, aku takkan menemukan diriku. Salah jurusan membuatku menemukan manusia-manusia baru yang mengisi hidupku dengan makna baru. Mereka membentukku menjadi semakin dewasa, secara intelektual maupun spiritual. Kini aku selalu berjaga-jaga dalam menghadapi "salah jurusan" berikutnya.

***

Buat mereka yang "Salah Jurusan", selain tembang macapat Selat Kalatida dan pupuh Asmaranda tanah Sunda, ada lagu dari rif yang cocok untuk didengarkan. Silahkan lihat video di bawah ini.

Kalau videonya gagal ter-embed, silahkan klik tautan di bawah ini.
http://www.youtube.com/watch?v=EoSDaKFKlqY

***

Oh, ya, ayat Kitab Suci di Gereja hari ini tentang "anak yang hilang" (Lukas 15:11-32) menjadi semakin bermakna ketika aku merenungkan kisah "salah jurusan" ini. Salah satunya karena aku salah naik angkot U1 sepulang dari Gereja.


Nürnberg, 10 Maret 2013

iscab.saptocondro